Sabung Ayam : Mengulas Makna Tajen dalam Kepercayaan Masyarakat Bali

Fenomena Sabung Ayam di Bali, yang secara kultural dikenal sebagai Tajen, adalah sebuah praktik yang sarat akan makna filosofis dan religius. Jauh melampaui citranya sebagai arena taruhan semata, Tajen menempati posisi sentral dalam sistem kepercayaan Hindu Dharma Bali, menjadi bagian integral dari upacara keagamaan dan tatanan sosial yang telah diwariskan lintas generasi. Untuk memahami mengapa Sabung Ayam dapat bertahan dan tetap relevan di tengah modernitas, kita harus menyelami kedalaman makna Tajen—sebuah ritual yang berfungsi sebagai jembatan antara dunia manusia dan alam spiritual. Artikel ini akan mengulas makna mendalam Tajen dalam kepercayaan masyarakat Bali, membedah fungsi utamanya sebagai ritual pensucian, dan mengaitkannya dengan kosmologi Bali yang kompleks.


Makna Kosmologis Tajen: Peleburan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit

Dalam pandangan Hindu Dharma Bali, alam semesta terbagi menjadi dua konsep utama: Bhuwana Agung (makrokosmos, alam semesta) dan Bhuwana Alit (mikrokosmos, tubuh manusia). Kesehatan dan keseimbangan masyarakat Bali sangat bergantung pada keharmonisan dua dunia ini. Sabung Ayam atau Tajen hadir sebagai mekanisme ritual untuk menjaga keseimbangan tersebut.

Ritual Tajen bukan hanya sekadar pertarungan, melainkan sebuah pertunjukan simbolis dari peperangan kosmik antara kekuatan baik (dharma) dan kekuatan jahat (adharma). Ayam jago, dengan sifatnya yang gagah dan agresif, melambangkan keberanian dan kekuatan spiritual. Darah ayam yang tertumpah, dikenal sebagai Tabuh Rah, memiliki makna sakral. Tabuh Rah adalah persembahan suci yang bertujuan untuk menenangkan Bhuta Kala—kekuatan negatif atau unsur kejahatan yang sering mengganggu keseimbangan Bhuwana Agung. Darah ini harus ditumpahkan ke bumi, sebagai simbol peleburan atau penetralan energi negatif. Oleh karena itu, bagi masyarakat Bali, inti dari Sabung Ayam dalam upacara adalah pengorbanan suci (yadnya), bukan hasrat akan taruhan.


Tajen sebagai Bagian Tak Terpisahkan dari Panca Yadnya

Tajen atau Sabung Ayam secara spesifik termasuk dalam rangkaian upacara Bhuta Yadnya, yaitu persembahan yang ditujukan kepada Bhuta Kala agar mereka tidak mengganggu kehidupan manusia dan alam. Bhuta Yadnya adalah salah satu dari lima jenis upacara suci utama dalam Hindu Bali (Panca Yadnya).

Dalam konteks ritual Tajen, persembahan Tabuh Rah harus dilakukan di area pura atau tempat upacara sebelum ritual utama dimulai. Tanpa adanya Tabuh Rah, diyakini bahwa upacara besar seperti Karya Agung (upacara besar) atau Pitara Yadnya (upacara kematian) tidak akan berjalan sempurna. Hal ini menunjukkan betapa esensialnya Tajen dalam kerangka religius Bali. Tujuannya adalah memastikan lingkungan suci bersih dari unsur-unsur negatif sehingga energi positif (Tirtha) dari upacara dapat terserap sempurna oleh masyarakat. Dengan demikian, kegiatan Sabung Ayam yang tampak profan di mata awam, sebenarnya memiliki fungsi spiritual yang sangat sakral dan vital bagi keberlangsungan upacara keagamaan.


Filosofi Tri Hita Karana dalam Konteks Sabung Ayam

Filosofi hidup masyarakat Bali berpedoman pada Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kebahagiaan: hubungan harmonis dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan harmonis dengan sesama manusia (Pawongan), dan hubungan harmonis dengan alam (Palemahan). Meskipun Sabung Ayam adalah ritual Bhuta Yadnya, ia juga mencerminkan interaksi dalam Pawongan dan Palemahan.

Secara Pawongan, Tajen menjadi momen sosial yang penting. Pemilik ayam jago—yang merawat, melatih, dan menyiapkan ayamnya—diakui dan dihormati. Pertarungan ayam jago adalah ajang pembuktian kehormatan dan status sosial pemiliknya. Persiapan dan perawatan ayam jago yang baik dianggap sebagai bentuk disiplin dan komitmen. Selain itu, kegiatan Sabung Ayam adalah pendorong bagi masyarakat untuk berkumpul, bersosialisasi, dan memperkuat ikatan komunitas (sekaa).

Secara Palemahan, penumpahan darah di bumi (Tabuh Rah) adalah pengakuan atas kekuatan alam dan upaya menjaga keseimbangan ekologis. Ayam jago yang digunakan dalam Tajen diperlakukan dengan penuh penghormatan sebelum dan sesudah ritual, sebagai bagian dari persembahan kepada alam. Ini menunjukkan bahwa Sabung Ayam bukan sekadar eksploitasi, melainkan siklus pengorbanan yang diselaraskan dengan ritme alam.


Peran Taruhan dalam Tajen: Nilai Tambah atau Kontroversi?

Perlu diakui bahwa praktik Sabung Ayam (Tajen) selalu diiringi oleh unsur taruhan. Secara tradisional, taruhan ini disebut tetajen atau pisuh, dan nilainya cenderung kecil, bersifat simbolis, dan hanya berfungsi untuk memperkuat semangat dan menghidupkan suasana ritual. Taruhan tradisional ini dianggap sebagai pelengkap agar pertarungan menjadi lebih sengit dan persembahan Tabuh Rah menjadi lebih bermakna. Taruhan ini membantu meningkatkan intensitas simbolis dari pertarungan dharma vs adharma.

Namun, seiring berjalannya waktu dan pengaruh modernisasi, aspek taruhan dalam Sabung Ayam menjadi lebih besar dan dominan, menyebabkan kontroversi dan pandangan negatif dari luar. Meskipun demikian, bagi pemeluk Hindu Dharma yang menjalankan tradisi, Tajen yang sesungguhnya adalah ritual suci yang wajib ada, sementara taruhan di luar konteks ritual resmi adalah penyimpangan dari makna asli. Dengan kata lain, makna Tajen yang sesungguhnya harus dilihat dari tujuan spiritualnya: mensucikan dan menyeimbangkan alam, bukan mencari keuntungan materi.


Kesimpulan

Sabung Ayam, atau Tajen, dalam kepercayaan masyarakat Bali adalah sebuah ritual sakral yang kaya akan makna kosmologis dan sosial. Ia adalah manifestasi dari Bhuta Yadnya yang bertujuan untuk menenangkan kekuatan negatif (Bhuta Kala) melalui persembahan suci Tabuh Rah, sehingga tercipta keharmonisan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Lebih dari sekadar pertaruhan, Tajen adalah jembatan spiritual yang mengikat masyarakat Bali pada filosofi Tri Hita Karana dan warisan leluhur. Memahami makna mendalam Tajen memungkinkan kita melihat Sabung Ayam bukan sebagai kegiatan profan, tetapi sebagai warisan budaya dan keagamaan yang fundamental dalam menjaga keseimbangan alam semesta menurut kacamata masyarakat Hindu Dharma Bali.